1.
Al-Razi
1.
Biografi Al-Razi
Nama lengkapnya
adalah Abu Bakr Muhammad bin Zakaria bin Yahya Al-Razi. Dia lahir di Ray, dekat
Teheran, Iran, pada 865 M/251 H. Al-Razi hidup di bawah pemerintahan Dinasti
Saman. Di kota Ray, Al-Razi belajar ilmu kedokteran pada Ali bin Rabban
al-Thabari, belajar ilmu filsafat pada al-Balkhi. Di samping itu, Al-Razi juga
belajar matematika, astronomi, sastra, dan kimia. Di masa mudanya, Al-Razi
hidup sebagai tukang intan, penukar mata uang, dan sebagai pemusik/pemetik
kecapi. Al-Razi menulis hampir semua karyanya kecuali matematika
Al-Razi dikenal
sebagai seorang pemberani dan pengeritik dogma-dogma Islam yang fundamental,
seperti soal Al-Qur`an, kenabian, dan takdir. Buku Naqd al-Adyan aw fi
al-Nubuwwah yang diduga kuat sebagai karyanya, menjadi sasaran kritik dari
lawan-lawannya, seperti: 1) Abu Hatim Al-Razi (seorang teolog, ahli hadis, dan
da’i beraliran Syi’ah Ismailiyah); 2) Abu Qasim al-Balkhi (seorang Mu’tazilah
yang berbeda soal waktu dan zaman); dan 3) Ibnu Tammar yang menolak tulisan
Al-Razi berjudul Al-Thibb Al-Ruhani.
Al-Razi meninggal
pada 5 Sya’ban 313 H bertepatan dengan 27 Oktober 925 M karena menderita
penyakit semacam katarak. Beberapa dokter menawarkannya untuk mengobati kebutaan
matanya, tetapi Al-Razi menolaknya dengan berkata, “Sudah banyak dunia yang aku
lihat, dan aku tidak ingin melihatnya kembali”.
2. Filsafat Ar-Razi
Al-Razi dikenal
dengan ajaran “Lima Kekal”, yaitu:
· al-Bari Ta’ala (Allah): hidup dan
aktif (dengan sifat independent).
· al-Nafs al-Kulliyyah (jiwa universal):
hidup dan aktif dan menjadi al-mabda` alqadim al-tsani (sumber kekal kedua).
Hidup dan aktifnya bersifat dependent. Al-Nafs al-Kulliyyah tidak berbentuk.
Namun karena punya naluri untuk bersatu dengan al-Hayula al-Ula, maka al-Nafs
al-Kulliyyah memiliki zat yang berbentuk (form) sehingga bisa menerima
sekaligus menjadi sumber penciptaan benda-benda alam semesta, termasuk badan
manusia. Ketika masuk pada benda-benda itulah, Allah menciptakan ruh untuk
menempati benda-benda alam dan badan manusia di mana jiwa (parsial)
melampiaskan kesenangannya. Oleh karena semakin lama jiwa bisa terlena pada
kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk menyadarkan jiwa yang terlena
dalam fisik tersebut.
· al-Hayula al-Ula (materi pertama):
tidak hidup dan pasif. Al-Hayula al-Ula adalah substansi (jauhar) yang kekal
yang terdiri dari dzarrah, dzarat (atom-atom). Materi yang sangat padat menjadi
substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi air, yang renggang menjadi
substansi udara, dan yang lebih renggang menjadi api. Al-Hayula al-Ula: kekal
karena tidak mungkin berasal dari ketiadaan. Buktinya, semua ciptaan Tuhan
melalui susunan-susunan (yang berproses) dan tidak dalam sekejab yg sangat
sederhana dan mudah.
· al-Makan al-Muthlaq (ruang absolut) ?
tidak aktif dan tidak pasif. Materi yang kekal membutuhkan ruang yang kekal
pula sebagai ‘tempat’ yang sesuai. Ada dua macam ruang: ruang partikular
(relatif) dan ruang universal. Yang partikular terbatas sesuai keterbatasan
maujud yang menempatinya. Sementara ruang universal tidak terbatas dan tidak
terikat pada maujud, karena bisa saja terdapat terjadi kehampaan tanpa maujud.
· al-Zaman al-Muthlaq (zaman absolut) ? tidak
aktif dan tidak pasif. Zaman atau masa ada dua: relatif/terbatas yang bisaa
disebut al-waqt dan zaman universal yang bisa disebut al-dahr. Yang terakhir
ini (al-dahr) tidak terikat pada gerakan alam semesta dan falak atau
benda-benda angkasa raya.
3. Kontroversi Pandangan Al-Razi Tentang
Kenabian
Sebagian dari
penjelasan al-Razi yang menunjukkan pengingkarannya pada kenabian dan cenderung
merendahkan posisi para nabi adalah dapat dilihat dalam dua buah karyanya,
Makhariq al-Anbiya` aw Hiyal al-Mutanabbi`in? (Kehebatan Para Nabi atau Tipu
Muslihat Orang-Orang yang Mengaku Nabi?) dan Naqd al-Adyan aw fi al-Nubuwwah?
(Kritik atas Agama-Ag/ama atau Kenabian?). Karya yang pertama mendapat sambutan
cukup sukses di kalangan kelompok yang menyebarkan ajaran zindiq dan ateis,
khususnya kaum Qaramithah (salah satu dari sekte-keagamaan Syi’ah–pen).
Abu Hatim menyebut
bahwa al-Razi berkata, “Yang lebih utama bagi hikmah
dan kasih sayang
Sang Maha Bijaksana adalah memberi inspirasi pada seluruh hamba-Nya untuk mengetahui,
baik cepat atau lambat, beberapa manfaat dan kemudharatan, dan tidak boleh
melebihkan sebagian mereka dari yang lain serta tidak boleh terdapat
pertentangan dan pertikaian di antara mereka sehingga menyebabkan kebinasaan.
Hal ini lebih hati-hati dari pada Dia menjadikan sebagian dari mereka beberapa
pemimpin, lalu pengikut-pengikutnya membenarkan sang imam (pemimpin) dan
mengingkari pemimpin lainnya sehingga terjadi peperangan di antara mereka dan
menimbulkan bencana. Keba-nyakan manusia binasa karena hal ini”. Disebutkan
pula bahwa Al-Razi mengatakan, “Para nabi tidak berhak mengaku diri mereka
sebagai manusia yang istimewa, baik secara akal maupun spiritual, karena
seluruh manusia adalah sama dan bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah Swt. adalah
tidak boleh memberi keistimewaan seseorang atas lainnya”.
2.
Al-Farabi
1.
Biografi Al-Farabi
Nama lengkapnya
adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh. Lahir pada 870
M di desa Wasij, bagian dari Farab, yang termasuk bagian dari wilayah Mā Warā`a
al-Nahr (Transoxiana); sekarang berada di wilayah Uzbekistan. Al-Farabi
meninggal di Damaskus, ibukota Suriah pada umur sekitar 80 tahun, tepatnya pada
950 M. Di negeri Barat, al-Farabi dikenal dengan nama Avennaser atau Alfarabius.
Ayahnya berasal dari Persia (Suriah) yang pernah menjabat sebagai panglima
perang Turki. Sedang ibunya berasal dari Turki.
2.
Filsafat al-Farabi
Al-Farabi
menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh
(teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan danalam pluralis dan
empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang
Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujud (disebut alam) dari pancaran Wājib
al-Wujud (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur
(berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan
sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya
sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang
disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal);
al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang
menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori
emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
· Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus
Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga
melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
· Wujud II itu berpikir tentang Wujud I
hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
· Wujud III itu berpikir tentang Wujud I
hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
· Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I
hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
· Wujud V itu berpikir tentang Wujud I
hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
· Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I
hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
· Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I
hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
· Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud
I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
· Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I
hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
· Wujud X itu berpikir tentang Wujud I
hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang
menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut
juga al-‘aql alfa’āl (akal aktif) yang bisaanya disebut Jibril yang berperan
sebagai wāhib alsuwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi
wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: 1) esensinya tidak berfisik (baik yang
tidak menempati fisik (yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet) maupun yang
menempati fisik (yaitu jiwa, bentuk, dan materi). 2) esensinya berfisik (yaitu
benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur
yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran
al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran
Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident
(‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena
substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang
berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq
yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi. Jiwa manusia, menurut
al-Farabi, memiliki 3 daya:
· Daya gerak (quwwah muharrikah),
berupa: makan (ghadiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan
berkembang biak (muwallidah, reproduction).
· Daya mengetahui (quwwah mudrikah),
berupa: merasa (hassah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination).
· Daya berpikir (al-quwwah al-nathiqah,
intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amali) dan akal teoretis (‘aql
nazhari).
Menurut Al-Farabi,
Nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan ‘aql fa’āl (akal ke-10)
yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai pada tingkat ‘aql
mustafād. Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu berkomunikasi dengan
akal ke-10 tanpa melalui latihan khusus karena mendapat limpahan dari Tuhan
berupa kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya
imaginasi luar bisaa, berupa al-hads (semacam insight khusus). Sementara
filosof harus melalui latihan yang serius dan cukup lama. Dengan demikian, nabi
lebih tinggi tingkatannya daripada filosof. Dan bisa juga dikatakan bahwa
setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi setiap filosof belum tentu seorang
nabi.
3.
Ibnu Maskawaih
1.
Biografi Ibnu Maskawaih
Maskawaih adalah
seorang filosuf muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika islam. Ia
seorang sejarawan tabib, ilmuan dan sastrawan. Nama lengkapnya adalah Abu Ali
Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Namanya yang lebih masyhur adalah
Maskawaih atau Ibnu Maskawaih.dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan
bahwa Maskawaih tergolong menganut aliran syi’ah. Maskawaih dilahirkan di Ray
(Iran), pada 320H (932M) dan wafat di Asfahan pada 9 Safar 421H (16 Pebruari
1030M).
2. Karya-Karya Ibnu Maskawaih
Maskawaih dikenal
terutama dalam keahliannya sebagai sejarawan dan filosuf, Maskawaih memperoleh
sebutan Bapak Etika Islam, karena Maskawaih-lah yang pertama mengemukakan teori
etika dan sekaligus menulis buku tentang etika.
Adapun karya-karya
Maskawaih yang dapat terekam oleh para penulis (sejarahwan) diantaranya adalah
sebagai berikut:
· Kitab Al-Fauz Al-Ashgar, tentang
ketuhanan, jiwa dan kenabian (metafisika).
· Kitab Al-Fauz Al-Akbar, tentang etika.
· Kitab Thabarat Al-Nafs, tentang etika.
· Kitab Tadzhib Al-Akhlaq Wa Rath-hir
Al-‘Araq, tentang etika.
· Kitab Tartib As-Sa’adat, tentang etika
dan politik terutama mengenai pemerintahan Bani Abbas dan Bani Buwaih
· Kitab Tajarib Al-Umam, tentang sejarah
yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak setelah air bah Nabi Nuh hingga
tahun 369H.
· Kitab Al-Jami’, tentang ketabiban.
· Kitab Al-Adawiyah, tentang
obat-obatan.
· Kitab Al-Asyribah, tentang minuman.
Berdasarkan banyak
kitab yang ditulisnya maka ketokohannya sebagai ahli filsafah dan pengarang
tidak dapat dinafikan. Ide dan pandangannya jelas mendahului zaman
menjadikannya sebagai salah seorang ilmuwan sarjana Islam yang tiada tolak
bandingan pada zamannya.
3. Filsafat Ibnu Maskawaih
a. Hikmah dan Falsafah
Maskawaih
membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan , wisdom) dan falsafah
(filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang
mampu membeda-bedakan (Mumayyis). Hikmah adalah bahwa engkau mengetahui segala
yang ada (Al-Maujudat) atau engkau mengetahui perkara-perkara ilahiah
(ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari
pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran sepiritual (ma’qulat) dapat
membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.
Maskawaih membagi
filsafat menjadi dua bagian : bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori
merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui
segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar.
Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya
untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral. Jika manusia memiliki dua
bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis tersebut, maka ia telah
memperoleh kebahagiaan yang sempurna.
4.
Ibnu Rusyd
1.
Biografi Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd atau
nama lengkapnya Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad lahir di Kardova pada tahun 1126.
Beliau ahli falsafah yang paling agung pernah dilahirkan dalam sejarah Islam.
Pengaruhnya bukan sahaja berkembang luas didunia Islam, tetapi juga di kalangan
masyarakat di Eropah. Di Barat, beliau dikenal sebagai Averroes. Keturunannya
terdiri daripada golongan yang berilmu dan ternama. Bapanya dan datuknya
merupakan kadi di Kardova.
Pada lewat
penghujung usianya, kedudukan Ibnu Rusyd dipulihkan semula apabila Khalifah
Al-Mansor Al-Muwahhidi menyadari kesilapan yang dilakukannya. Namun, segala
kurniaan dan penghormatan yang diberikan kepadanya tidak sempat dikecapi karena
beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1198.
Kematiannya
merupakan kehilangan yang cukup besar kepada kerajaan dan umat Islam di
Sepanyol. Beliau tidak meninggalkan sebarang harta benda melainkan ilmu dan
tulisan dalam pelbagai bidang seperti falsafah, perubatan, ilmu kalam, falak,
fiqh, muzik, kaji bintang, tatabahasa, dan nahwu. Antara karya besar yang
pernah dihasilkan oleh Ibnu Rusyd termasuklah "Kulliyah fit-Thibb"
yang mengandungi jilid, mengenai perubatan secara umum, MabadilFalsafah
(Pengantar Ilmu Falsafah), Tafsir Urjuza yang membicarakan perubatan dan
tauhid, Taslul, buku mengenai ilmu kalam, Kasyful Adillah, yang mengungkap
persoalan falsafah dan agama, Tahafatul Tahafut, ulasannya terhadap buku Imam
Al-Ghazali yang berjudul Tahafatul Falaisafah, dan Muwafaqatil Hikmah Wal
Syari'a yang menyentuh persamaan antara falsafah dengan agama.
2. Filsafat Ibnu Rusyd
Pembicaraan
falsafah Ibnu Rusyd banyak tertumpu pada persoalan yang berkaitan dengan
metafizik, terutamanya ketuhanan. Beliau telah mengemukakan idea yang bernas
lagi jelas, dan melakukan pembaharuan semasa membuat huraianya mengenai perkara
tersebut. Pembaharuan ini dapat dilihat juga dalam bidang perubatan apabila
Ibnu Rusyd memberi penekanan tentang kepentingan menjaga kesihatan.
Beberapa pandangan
yang dikemukakan dalam bidang perubatan juga didapati mendahului zamannya.
Beliau pernah menyatakan bahawa demam campak hanya akan dialami oleh setiap
orang sekali sahaja. Kehebatannya dalam bidang perubahan tidak berlegar di
sekitar perubatan umum, tetapi juga merangkum pembedahan dan fungsi organ di
dalam tubuh manusia. Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Ibnu Rusyd turut
menjangkau bidang yang berkaitan dengan kemasyarakatan apabila beliau cuba
membuat pembahagian masyarakat itu kepada dua golongan iaitu golongan elit yang
terdiri daripada ahli falsafah dan masyarakat awam.
Pembahagian strata
sosial ini merupakan asas pengenalan pembahagian masyarakat berdasarkan kelas
seperti yang dilakukan oleh ahli falsafah terkemudian, seperti Karl Max dan
mereka yang sealiran dengannya. Apabila melihat keterampilan Ibnu Rusyd dalam
pelbagai bidang ini, maka tidak syak lagi beliau merupakan tokoh ilmuwan Islam
yang tiada tolok bandingannya. Malahan dalam banyak perkara, pemikiran Ibnu
Rusyd jauh lebih besar dan berpengaruh jika dibandingkan dengan ahli falsafah
yang pernah hidup sebelum zamannya ataupun selepas kematiannya.
5.
Ibnu Sina
1.
Biografi Ibnu Sina
Ibnu Sina yang
memiliki nama lengkap Abu Ali al-Hussein Ibn Abdallah, lahir di Afshana dekat
Bukhara (Asia Tengah) pada tahun 981. Pada usia sepuluh tahun, dia telah
menguasai dengan baik studi tentang Al Quran dan ilmu-ilmu clasar. Ilmu logika,
dipelajarinya dari Abu Abdallah Natili, seorang filsuf besar pada masa itu.
Filsafatnya meliputi buku-buku Islam dan Yunani yang sangat beragam.
Kemampuannya dalam
bidang pengobatan sudah begitu mumpuni di usianya yang masih belia. Bahkan
ketika usianya baru tujuhbelas tahun, dia sudah berhasil menyembuhkan penguasa
Bukhara, Nun Ibn Manshur. Padahal sebelumnya para pakar kesehatan kerajaan
sudah menyerah, tak satu pun yang mampu mengatasi penyakit sang raja. Atas
jasanya itu, Manshur bermaksud memberinya hadiah. Namun Ibnu Sina justru lebih
memilih izin dari sang raja untuk diperkenankan meggunakan perpustakaan
kerajaan yang dikenal memiliki koleksi buku-buku yang unik.
2. Filsafat Ibnu Sina
Karya Ibnu Sina
dalam bidang filsafat yang terkenal adalah Al-Najat, Isyarat, dan al-Shifa
(buku yang berisi tentang penyembuhan penyakit) merupakan ensiklopedi
filosofis. Di dalamnya berisi jangkauan pengetahuan yang luas, dari filsafat
hingga ilmu pengetahuan. Filsafat Ibnu Sina merupakan penggabungan tradisi
Aristotelian, pengaruh Neoplatonic dan teologi Islam. Ibnu Sina mengelompokkan
seluruh bidang ilmu ke dalam dua kategori besar, yakni: pengetahuan teoritis
dan pengetahuan praktis. Pengetahuan teoritis meliputi fisika, matematika, dan
metafisika, sedangkan pengetahuan praktis meliputi etika, ilmu ekonomi, dan
ilmu politik.
Jenius yang satu
ini tidak pernah berhenti mengembara, baik secara fisik maupun secara batin.
Secara fisik, dia terus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, untuk
memuaskan rasa ingin tahunya terhadap segala hal, serta untuk dapat belajar,
belajar, dan belajar. Karena terlalu banyak memeras otak dan diperparah oleh
gejolak politik pada masa itu, kesehatannya semakin memburuk. Akhirnya, pada
tahun 1037 dia kembali ke Hamadan, dan meninggal di sana.
6.
Mulla Shadra
1.
Biografi Mulla Sadra
Shadr al-Din
Muhammad ibn Ibrahim ibn Yahya Qawami al-Syirazi atau yang lebih dikenal dengan
Mulla Shadra, dilahirkan di Syiraz pada tahun 1572 M. Pendidikan dasarnya
dijalani dikotanya dalam bidang al-Qur'an, Hadis, Bahasa Arab dan Bahasa Persia
kemudian dilanjutkan di Isfahan sebuah kota pusat studi yang penting pada masa
itu. Di sana, Mulla Shadra berguru kepada Baha' al-Din al-Amili (w. 1622 M),
Mir Damad (w. 1631) dan Mir Abu Al-Qasim Findereski (w. 1640).
Konon, Mulla
Shadra pernah melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak tujuh
kali, dan wafat di Basrah sekembalinya dari menunaikan ibadah haji yang ketujuh
pada 1641.
2. Karya-Karya Mulla Sadra
Sumbangan filsafat
Mulla Shadra sangatlah banyak diantaranya; Al- Suhrawadi, Hikmah Al-Isyraq,
Al-Abhari, Al-Hidayah fi Al-Hikmah, dan Ibn sina, Al-Syifa bersanding dengan
risalah-risalahnya tentang organization, Resurraction (Awal Penciptaan dan Hari
Akhir), Predicating Essence of Existence, dan beberapa makalah singkatnya dalam
tema-tema serupa. Namun, karya filsafatnya yang berpengaruh adalah Al-Masya'ir
(Keprihatinan), Kasr Asnam Al-Jahiliyah (Menghancurkan Arca-Arca Paganisme),
dan "Hikmah Transedental", yang lebih dikenal sebagai "Empat
Pengembaraan" (Al-Asfar Al-Arba'ah).
3. Filsafat Mulla Sadra
Dalam bagian
pendahuluan kitab Al-Asfar, Mulla Shadra menyesalkan sikap berpaling masyarakat
Muslim dari studi filsafat. Padahal, prinsip-prinsip filsafat yang dipadukan dengan
kebenaran wahyu Nabi adalah cermin nilai kebenaran tertinggi.
Menurutnya,
keharmonisan itu menunjukkan kebenaaran tunggal yang dibawa
oleh Adam. Dari
Adam, kebenaran ini diturunkan kepada Ibrahim, kemudian para filosof Yunani,
lalu para sufi, dan akhirnya, para filosof pada umumnya. Orang-orang Yunani,
tulisannya, semula menjadi penyembah binatang. Akan tetapi, dalam
perjalanannya, mereka mengambil filsafat dan teologi dari Ibrahim.
Dalm konteks ini,
Mulla Shadra membedakan dua kategori filosof Yunani kuno. Kategori pertama
dimulai oleh Thales dan berakhir pada Socrates dan Plato. Dan kategori kedua
dimulai oleh Pythagoras yang menerima filsafat dari sulaiman dan para rahib
Mesir-seperti yang terungkap dari banyak catatan sejarah filsafat Arab. Di antara
"tiang-tiang filsafat", Mulla Shadra menyebut nama Empedocles,
Pythagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles, sedangkan mengenai hubungan
Plotinus-yang dijulukinya dengan guru Yunani dan acp disebutnya dengan rasa
hormat dengan Plato dan Aristoteles, Mulla Shadra, seperti kebanyakan filosof
Muslim lainnya, samasekali berskap diam. Semua "tiang filsafat"
Yunani yang disebutkan di atas, menurut
Mulla Shadra, menerima "cahaya Hikmah" dari "mercusuar
kenabian".
Inilah sebabnya,
para filosof itu secara keseluruhan bersesuaian dengan para nabi dalam
persoalan-persoalan menyangkut keesaan Tuhan, penciptaan alam, dan hari
kebangkitan. Terlepas dari pandangannya tentang sejarah filsafat ini, sosok
metodologi
Mulla Shadra yang
mesti diperhatikan adalah penerapan kategori-kategori filsafat dan tasawuf pada
ajaran-ajaran Syi'ah. Dia berpendapat bahwa tahapan kenabian dalam sejarah
dunia berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad Saw., "pamungkas para
nabi". Tahapan selanjutnya ialah imamah (wilayah/wishayah) yang terdiri
dari dua belas imam Syi'ah. Imamah akan terus berlanjut hingga kembalinya imam
kedua belas yang saat ini masih gaib menurut doktrin Syi'ah.
7. AL-KINDI
Nama Al-Kindi dari
nama sebuah suku, yaitu banu kindah yang suku keturunan kindah, yang berlokasi
di daerah selatan Jazirah Arab, dan nama lengkap: Abu Yusuf Ya’kub Ibnu Ishak
al-sabah, Ibnu Imran, Ibnu al-Asha’ath, Ibnu Kays al-Kindi, keturunan susu kays.
Gelar Abu Yusuf (bapak dari anak yang bernama Yusuf), lahir tahun 185 H (801 M)
di Kufah, nama orang tua Ishak Ashshabbah dengan jabatan Gubernur di Kufah,
pada masa pemerintahan al-Mahdi dan Harun al-Rasyid dari Bani Abbas.
Al-Kindi (801-873
M), di dunia Barat terkenal dengan nama al-Kindus. Beliau adalah keturunan
bangsawan Arab dari kerajaan Kinda (Yaman), lahir di Basrah pada tahun 185 H
anak Ishak al-Shabbah , gubernur di Kufah (Irak) semasa pemerintahan
khalifah-khalifah al-Mahdi dan Harun al-Rasyid.
Al-Kindi mengalami
kemajuan pikiran islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab,
bahkan ia termasuk pelopornya. Bermacam-macam ilmu telah dikajinya, terutama
filsafat, dalam suasana yang penuh pertentangan agama dan mashab, dan dibanjiri
oleh paham golongan Mutazilahserta ajaran-ajaran Syah.
Karyanya al-Kandi
banyak mengarang buku yang kurang lebih berjumlah 241 dalam berbagai bidang
ilmu terutama bidang filsafat, logika, aritmatika, astronomi, kedokteran, ilmu
jiwa, politik optika, musik, matematika, dan sebagainya.
Isi
karangan-karangan tersebut bermacam-macam antara lain bidang filsafat, logika,
aritmatika, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik optika, musik,
matematika, dan sebagainya. Al-kindi tidak banyak membicarakan persoalan-persoalan
filsafat yang rumit dan yang telah dibahas sebelumnya, akan tetapi dia tertarik
dengan definisi-definisi dan penjelasan kata-kata dan lebih mengutamakan
ketelitian kata-kata dari pada menyelami problema-problema filsafat.
Karangan-karannya
terkenaldikemukakan oleh seorang ahli penemuan jerman, yang hillmuth Ritter
diperpustakaan aya sofra, istambul, dan terdiri dari 29 risalah yang
membicarakan persoalan alam dan filsafat yaitu ke-Esahan Tuhan, akal, jiwa,
filsafat, pertama. Risalah-risalah tersebut diterbitkan dimesir oleh M.
Abdul-Radi Aburaida
8. AL GHAZALI
Nama lengkapnya
Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al Ghazali.
Dia lahir di kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provinsi Khurasan,
Republik Islam Irak pada tahun 450 H (1058 M).
Nama Al Ghazali
ini berasal dari ghazzal, yang berarti tukang pintal benang, karena pekerjaan
ayahnya adalah memintal benang wol. Sedangkan Ghazali juga diambil dari kata
ghazalah, yaitu nama kampung kelahiran Al Ghazali dan inilah yang banyak
dipakai, sehingga namanya pun dinisbatkan oleh orang-orang kepada pekerjaan
ayahnya atau kepada tempat lahirnya.
Karya-karya Imam Al Ghazali
Rampung dari
mempelajari beberapa filsafat, baik Yunani maupun dari pendapat-pendapat
filosof Islam, Al Ghazali mendapatkan argumen-argumen yang tidak kuat, bahkan
banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Al Ghazali
menyerang argumen filosof Yunani dan Islam dalam beberapa persoalan. Di
antaranya, Al Ghazali menyerang dalil Aristoteles tentang azalinya alam dan
pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian
alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja. Ia pun menentang argumen
para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab akibat semata-mata, mustahil
adanya penyelewengan.
Al Ghazali
mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang mengagumkan
terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum filosof.
Sosok Al Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Dia seorang ulama,
pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Filsafat Ketuhanan Al Ghazali
Al Ghazali
memandang metafisika (ketuhanan) dengan memberi reaksi keras terhadap
Neoplatonisme Islam. Menurutnya, banyak kesalahan para filosof, karena mereka
tidak teliti dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu, Al Ghazali
mengecam secara langsung dua tokoh Neoplatonisme muslim (Al Farabi dan Ibn
Sina) serta secara tidak langsung terhadap Aristoteles, guru mereka. Menurut Al
Ghazali, dalam Tahâfut Al Falâsifah, para pemikir bebas tersebut ingin
meninggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemujaan
ritual dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna bagi pencapaian
intelektual mereka.
Pandangan Al
Ghazali tentang filsafat ketuhanan terdiri dari tiga masalah pokok, yaitu:
a. Masalah Wujud
Al Ghazali
mengikuti tradisi ulama kalam Al Asy’ari, dalam menetapkan wujud Tuhan. Beliau
menggunakan dalil wujud Tuhan atas dua bentuk, yaitu dalil naqli dan dalil
aqli. Penggunaan dalil naqli yakni melalui perenungan terhadap ayat-ayat Al
Qur`ân sambil memperhatikan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan bahwa dengan
perenungan ayat dan fenomena alam yang serba teratur, manusia akan sampai pada
pengakuan terhadap wujud Tuhan.
Ia menunjukkan
wujud Tuhan melalui dalil aqli dan ia mempertentangkan wujud Allah dengan wujud
makhluk. Wujud Allah adalah qadîm, sedangkan wujud makhluk adalah hadîts
(baru). Wujud hadîts menghendaki sebab gerak yang mendahuluinya sebagai
penggerak yang mengadakannya. Sebab musabab ini tidak akan berakhir sebelum
sampai kepada Yang Qadîm yang tidak dicipta dan digerakkan. Sedangkan jika
wujud Allah hadîts, tentu akan menghendaki sebab musabab seperti itu juga, yang
sudah pasti tak akan ada pangkal pokok geraknya. Hal demikian adalah suatu hal
yang mustahil dan tak akan menghasilkan apa-apa.
b. Masalah Dzat
dan Sifat
Al Ghazali
membatasi diri dari pembahasan tentang Dzat Tuhan dengan mengemukakan hadits
Nabi Muhammad saw. yang melarang manusia memikirkan dzat Allah SWT. Dari itu,
beliau menegaskan bahwa akal menusia tidak akan sampai mencapai dzat itu. Cukup
bagi manusia hanya mengetahui sifat af’âlnya saja. Sedangkan dalam membahas
sifat Tuhan, Al Ghazali cenderung mengikuti para mutakallimîn dari madzhab
Asy’ari. Beliau menetapkan adanya sifat dzat yang diistilahkan dengan sifat
salbiyyah (sifat yang menafikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesempurnaan
dzat Allah SWT). Sifat salbiyyah ini ada lima, yaitu: Qidâm (tidak
berpemulaan), Baqâ` (kekal), Mukhâlafah li Al Hawâdits (berlainan dengan yang
baru), Qiyâmuh Bi Nafsih (berdiri sendiri) dan Wahdâniyyah (esa).
Sifat-sifat ini
menafikan kesempurnaan makhluk dan menetapkan kesempurnaan Allah SWT. Selain
sifat salbiyyah, adapula sifat ma’âni (sifat-sifat yang melekat pada dzat Allah
SWT.) Dia bukanlah dzatnya dan adanya sifat ini bersamaan dengan adanya Allah
SWT. dan tidak dapat dipisahkan dari dzatnya. Sifat ma’âni ada tujuh yaitu:
Qudrah (Maha Kuasa), Iradah (Maha Berkehendak), ‘Ilmu (Maha Mengetahui), Sama’
(Maha Mendengar), Bashar (Maha Melihat), Kalam (Maha Berbicara) dan Hayat (Maha
Hidup).
c. Masalah Af’al
Al Ghazali
berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT. tidak terbatas dalam menciptakan alam
saja, tetapi Allah SWT. juga menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiarnya.
Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari kehendak Allah SWT. Manusia hanya
diberi kekuasaan dalam lingkungan kehendak Tuhan. Jadi pebuatan dan ikhtiar
manusia adalah terbatas dan tidak akan melampaui garis-garis qadar. Dalam
menguraikan af’al ini, Al Ghazali mengembalikan permasalahan kepada firman
Allah SWT dalam Q.S. Fâthir ayat 8.
9. AL BIRUNI
Al-Biruni dikenal sebagai salah satu
ilmuwan yang memiliki banyak bakat. Sebagai bukti banyak karya karya yang lahir
dari pemikiran Al Biruni dari berbagai bidang. Bidang matematika dan ilmu falak
/ astronomi menjadi contoh bidang yang sangat dikuasai oleh Al Biruni. Buku
buku yang ditulis menjadi karya agung Al Biruni rata rata dalam bahasa Persia.
Karya karya AL BIRUNI
Pada saat bermumur
tujuh belas tahun, Al Biruni melakukan penelitian garis lintang Kath, Khawarizm
dengan menggunakan altitude maxima matahari (solar maxima). Berlanjut di usia
dua pulu dua tahun beberapa hasil penelitian termasuk beberapa proyeksi peta
dan kartografi menjadi objek hasil kerjanya. Dalam penelitian ini tercakup di
dalamnya bagaimana menggambar permukaan bumi di bidang datar.
Al Biruni
Pada saat berumur
27 tahun, Al biruni menulis sebuah buku dengan judul Chronology. Buku ini
memaparkan hasil kerja yang telah dilakukannya. Selain itu beberapa buku
tentang penelitian perbintangan, buku tentang sistem bilangan desimal (bilangan
berbasis sepuluh) dalam bidang matematika, buku buku tentang sejarah sebanyak
dua buah. Dalam geografi, Al biruni melakukan penelitian dan pembuktian
jari-jari bumi sebesar 6339,6 km, kemudian berdasarkan penelitian tersebut
barulah bangsa eropa dan amerika melakukan penelitian lebih detail tentang jari
jari bumi ini.
Sebuah karya besar
sejarah yang di hasilkan Al Biruni yaitu buku Tarikh Al Hind. Buku ini
menceriterakan sejarah peradaban dari India. Namun sebelumnya Al Biruni juga
pernah menulis sebua buku bertema sejarah orang orang jaman purba dengan judul
Al Ardhul Baqiyah anil Qurnil Khaliyah. Pada abad ke sembilan belas bukut tersebut
dialih-bahasakan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Chronology of Ancient
Nations. Terakhir kali buku tersebut dicetak dalam bahasa Inggris pada tahun
1993.
Kembali ke bidang
astronomi, sebuah buku pernah ditulis untuk raja yang berkuasa saat itu, yakni
Sultan Masud Al Gaznawi. Buku dengan judul Al Qanunul Mas’udi fil Hai’ah wan
Nujum memuat report dari seluk beluk ilmu falak. Selanjutnya dalam hubungan
matematika astronomi, penggunaan geometri dalam ilmu astronomi ditulislah buku
At Tafhim fi Awa’il Sina’atit Tanjim.
Semua buku yang
ditulis oleh Al Biruni, merupakan buku buku yang berisi sebuah karya asli
beliau. Originality buku tersebut sangat di akui dunia. Buku buku tersebut
mampu menjadi kitab yang memberikan arahan akan penyelesaian masalah yang sering
diperdebatkan ilmuwan lainnya pada waktu itu. Terlebih dibidang geografi dimana
saat itu masih diperdebatkan tentang rotasi bumi (berputarnya bumi pada
sumbunya) lalu juga tentang ketetapan garis latitude ( garis lintang) dan garis
longitude (garis bujur), dan beberapa hipotesis tentang alam semesta dan isinya
yang bersifat berubah rubah. Beberapa ahli berpendapat bahwasanya teori
relativitas yang diperkenalkan oleh Einstein merupakan pengembangan dari teori
yang pernah diperkenalkan Al Biruni.